Rabu, 03 Januari 2018

thumbnail

Cerita Nyata KeKejaman Orang Tua Tiri Arie Hanggara ( 1976 - 1984 ) Yang Menggemparkan Dunia















CITYBET - WAHAI YANG SATU GENERASI DENGAN ARIE HANGGARA (1976-1984) KINI ENGKAU ADALAH ORANG TUA JUGA. "WHAT THE KID NEEDS NOW IS YOUR LOVE, PAPA & MAMA, NOT YOUR MONEY OR YOUR SUCCESFULL." 

Sebuah makam berukuran 2x1 meter di Blok AA II Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menjadi penanda akan kekejaman orangtua serta ibu tiri terhadap anaknya. Setelah 30 tahun, makam itu kini tak terurus. Namun, ceritanya tak pernah usang karena terus berulang.

Di makam itu bersemayam jasad bocah berusia 8 tahun bernama Arie Hanggara yang hingga kini selalu diidentikkan dengan kekerasan orangtua terhadap anaknya. Arie lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 21 Desember 1977 dan meninggal di Jakarta pada 8 November 1984. 

Arie Hanggara adalah kisah pilu tentang anak yang tewas dianiaya orangtuanya, Machtino bin Eddiwan alias Tino dan ibu tirinya Santi binti Cece. Kisah tragis Arie yang terjadi pada November 1984 memunculkan kesedihan sekaligus kegeraman publik.

Ia boleh dikatakan lahir di tengah keluarga yang timpang. Sang ayah Tino adalah seorang yang pemalas dan tukang janji kelas kakap. Bahkan, saudara dari pihak istrinya menggunjingkan Tino sebagai pejantan yang hanya mampu bikin anak. Karena tak punya pekerjaan, sementara dia punya harga diri yang tinggi di tengah kondisi Jakarta yang menuntut terlalu banyak, Tino dan istrinya Dahlia Nasution kerap bersitegang. 

Sang istri akhirnya kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya ke rumah sang nenek. Tak lama kemudian, Tino kembali mengambil anak-anaknya dan hidup bersama istri barunya bernama Santi. 
Di sebuah rumah kontrakan kecil di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, mereka tinggal. Tino dan Santi serta 3 anak Tino yaitu Anggi, Arie, dan Andi. Sadar kalau dirinya pengangguran, sehabis mengantar istri ke kantor, Tino melamar kerja ke berbagai tempat. 

Teman-teman juga mulai dihubungi, tapi semuanya tak ada yang memberi harapan. Kondisi ini membuat Santi mulai cerewet, ditambah anak-anak yang mulai membandel sesuai dengan perkembangan usianya. Sindiran Santi yang menyoal sikap anak-anaknya membuat Tino mulai bersikap keras pada Arie dan 2 saudaranya. Entah kenapa, kemarahan Tino dan Santi tertumpu pada Arie, anak kedua Tino yang juga murid kelas 1 SD Perguruan Cikini, Jakarta Pusat. 

Oleh teman-teman sekelasnya, Arie dikenal sebagai anak yang lincah, lucu, kadang bandel, dan senang bercanda. Sedangkan di mata gurunya, Arie dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai. Nilainya untuk pelajaran matematika 8,5. Namun, bagi Tino dan Santi, kenakalan Arie sudah melewati batas. 

Penyiksaan terhadap anak yang periang ini terjadi mulai 3 November 1984, ketika Arie dituduh Tino dan Santi mencuri uang Rp1.500. Arie menjerit kesakitan ketika dihujani pukulan oleh kedua orangtuanya karena tak mau mengaku. Pukulan itu menimpa muka, tangan, kaki, dan bagian belakang tubuhnya. Tak sampai di situ, Tino juga mengikat kaki dan tangan Arie. Kemudian, seperti layaknya pencuri Arie disuruh jongkok di kamar mandi. "Ayo minta maaf dan mengaku," teriak Santi. Merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya atau sebagai ekspresi pembangkangan, Arie tetap membisu. 

Penasaran, Tino dan Santi melepas ikatan tangan Arie dan menyiramkan air dingin ke tubuh sang bocah. Santi meminta tambahan hukuman dengan menyuruh Arie jongkok sambil memegang kuping. Anak tidak berdosa ini melaksanakan hukumannya sambil mengerang menahan sakit.

Kekejaman Tino dan Santi terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada Rabu 7 November 1984. Arie kembali dituduh mencuri uang Rp 8.000. Bocah yang mengaku tidak mencuri ini kembali dianiaya. Santi dengan gemas menampari Arie yang berdiri ketakutan. Masih juga tak mengaku, Tino mengangkat sapu dan memukuli seluruh tubuh bocah itu. 

Suara tangis kesakitan Arie pada pukul 22.30 WIB sayup-sayup didengar tetangganya. "Menghadap tembok," teriak Santi seperti dituturkan sejumlah saksi. Kesal karena kata maaf tak kunjung terucap, Santi kemudian datang dengan menenteng pisau pengupas mangga dan sekali lagi mengancam Arie untuk meminta maaf. Namun, lagi-lagi Arie menutup mulut. 

Dengan penuh emosi, Santi menjambak dan menodongkan pisaunya ke muka bocah yang sudah sangat ketakutan itu. Setelah sang ibu tiri meninggalkan "ruang penyiksaan", giliran Toni datang dan memukul Arie yang sudah sangat lemah itu. "Berdiri terus di situ," perintah sang ayah. Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 WIB ketika Toni bangun dan menengok Arie. 

Ia menjumpai bocah itu sudah tidak berdiri lagi dan tengah duduk. Minuman di gelas yang diperintahkan tidak boleh diminum, sudah bergeser letaknya. Bukannya merasa iba, Toni malah naik darah dan kembali menyiksanya. Gagang sapu mulai menghujani tubuh anak malang ini. Toni juga membenturkan kepalanya ke tembok. Akhirnya, anak yang lincah ini tersentak dan menggelosor jatuh. Sang ayah kembali beranjak ke kamar tidur. Pada pukul 03.00 WIB, 

Toni bangun dan melihat anaknya sudah terbujur kaku. Sang ayah jadi panik dan bersama Santi melarikan Arie ke rumah sakit. Namun, dokter yang memeriksanya mengatakan Arie sudah tidak bernyawa. Hari itu, Kamis 8 November 1984.

 Keesokan harinya masyarakat gempar ketika media cetak memberitakan kematian anak yang malang ini. Selama berminggu-minggu kemudian, kisah tragis ini menjadi berita utama di koran-koran. Sejak itu, nama Arie lekat di ingatan publik sebagai korban kekejaman orangtua.

ANAK INI TIDAK PERNAH MELIHAT KEBAHAGIAAN SEUMUR HIDUPNYA KARENA HARUS MATI DI USIA YANG MASIH SANGAT MUDA, TAPI ARIE HANGGARA MEMBERI PELAJARAN BERHARGA PADA KITA UNTUK TIDAK MEMPERLAKUKAN ANAK SEPERTI CARA BERPIKIR ORANG DEWASA.


KLIK DISINI

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

Cari Blog Ini

Blog Archive

Donald Trump: AS Telah Jatuhkan Sanksi Terbesar untuk Korea Utara

CITYBET - Presiden Amerika Serikat Donald Trump, pada Jumat 23 Februari waktu setempat, mengumumkan bahwa pemerinta...